MENGAPA ORANG BAIK BERBUAT TIDAK BAIK Tidak lama setelah Bung Hatta wafat pada 14 Maret 1980, keluarganya menemukan lipatan guntingan iklan sepatu Bally di dalam dompet wakil presiden pertama RI tersebut. Potongan iklan tersebut rupanya telah disimpan lama oleh beliau.

Tahun 1950-an, sepatu bermerek Bally sangat populer di Indonesia dan terbilang cukup mahal. Bung Hatta juga berkeinginan memilikinya. Ketika melihat iklan mengenai sepatu Bally di sebuah koran, ia menggunting iklan itu dan menyimpannya. Sebagai wakil presiden saat itu, tentunya bukan perkara yang sulit baginya untuk memiliki sepasang sepatu Bally. Namun Bung Hatta tidak mau menggadaikan integritasnya dan menjual jabatannya demi kepentingan pribadi.

Untuk mewujudkan keinginannya, beliau menabung uang yang didapatnya dari hasil menulis dan mengisi seminar untuk membeli sepatu itu. Namun hingga akhir hayatnya tabungannya tidak pernah cukup untuk membeli sepatu Bally. Ya, itulah legenda orang baik yang tidak pernah berbuat tidak baik, yang berintegritas dan tidak memanfaatkan jabatannya. Beda cerita dengan Nixon. Ia adalah presiden ke-37 Amerika Serikat yang memerintah tahun 1969-1974. Keinginannya untuk bisa terpilih kembali untuk kedua kalinya sebagai presiden Amerika Serikat membuat ia melakukan segala cara. Salah satunya dengan membiarkan tim kampanyenya menyelinap masuk ke Kantor Partai Demokrat untuk mengetahui strategi yang dipersiapkan saingannya. Kejadian itu nyaris terbungkus rapi dan tidak diketahui siapa pun. Kasus itu kemudian terbongkar dan hasil investigasi menguak keterlibatan Presiden Nixon dalam kasus ini dan upaya-upaya lain seperti menyadap pembicaraan pihak yang kontra dengannya.

Skandal ini di kemudian hari mengakhiri periode kepemimpinan Presiden Richard Nixon yang pada saat itu baru terpilih kembali untuk masa jabatan keduanya. Dan ia pun mengundurkan diri dari jabatan kepresidenannya. Menjadi pertanyaan, mengapa orang baik melakukan hal tidak baik? Nixon semestinya orang baik, terpilih sebagai presiden Amerika Serika tentulah bukan perkara mudah dan sudah diamati oleh seluruh rakyat bahwa ia pantas menjadi presiden. Mengapa ia sampai melakukan hal tidak baik, demi sebuah jabatan? Ada banyak teori beruaha menjelaskan mengapa orang baik atau semestinya baik, melakukan hal tidak baik. Yang pertama adalah kekuasaan. Kekuasaan membuat orang terbutakan hati nuraninya, merasa berhak untuk melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan orang lain termasuk yang melanggar aturan dan melanggar janji yang telah diucapkan. Seperti halnya Nixon, ia berkata, “When the President does it, it is not illegal.” Jadi ia melakukan apa yang ia senangi, termasuk memanfaatkan anak buahnya. ‘Power tends to corrupt’. Kedua, yang sangat sering adalah ketaatan membuta pada atasan atau yang lebih tinggi. Kalau seseorang yang mempunyai otoritas menyuruh anak buah atau kroninya untuk melakukan hal yang melanggar aturan atau etika, sulit untuk ditolak dan kebanyakan diikuti saja apa yang diminta dengan berpikir bahwa hal itu merupakan tanggung jawab dari yang menyuruh dan bukan tanggungj awabnya sendiri (kecuali yang disuruh mempunyai integritas tinggi dan tidak mau melakukan hal yang melanggar aturan atau etika). Dulu sekali ada seorang dokter kandungan cerita, waktu pendidikan ia pernah disuruh menenggelamkan ke dalam air sesosok bayi yang cacat berat sehingga sulit bertahan hidup. Katanya,”Disuruuuuh…..” Ketiga, ada juga orang baik melakukan hal tidak baik tetapi ‘kecil’. Karena kecil maka ia berpikir, ”It should be ok” atau “Gpplah”. Tanpa disadari berbuat tidak baik yang kecil dapat menjadi kebiasaan sehingga mengakibatkan perbuatan tidak baik yang besar. Buddha mengingatkan.”Janganlah melakukan kesalahan walaupun kecil….” Secara sederhana, yang dikatakan orang baik itu bermakna tidak berbuat jahat dan banyak berbuat baik. Tidak berbuat jahat dapat diartikan tidak melanggar etika moral seperti tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan hubungan seks terlarang, tidak berbohong dan tidak mengonsumsi zat-zat yang merendahkan kesadaran dan menimbulkan ketagihan. Berbuat baik dapat dimaknai seperti suka berdana, suka bermeditasi, suka berbuat kebajikan demi kepentingan orang banyak, menghormat dan rendah hati, mengikuti ajaran agama dan sebagainya. Walaupun sudah merasa menjadi ‘orang baik’, seseorang tetaplah harus berhati-hati karena ada kemungkinan timbulnya ‘byapada’ atau keinginan buruk. Bahkan dalam diri seorang yang sudah mencapai kesucian tingkat pertama yaitu Sotapanna, masih terdapat byapada. Byapada akan dilemahkan bila sudah tercapai tingkat Sakadagami dan baru lenyap setelah mencapai tingkat Anagami. Oleh karena itu setiap orang baik yang memahami Ajaran, umat apalagi para pemimpin, hendaknya selalu sadar bahwa bila tidak berhati-hati dapat timbul keinginan buruk yang berlanjut menjadi perbuatan tidak baik. Adalah sangat penting bagi umat apalagi pemimpin untuk tidak mempunyai cetana (kehendak) buruk demi jabatan atau kebanggaan diri, yang akan berlanjut menjadi perbuatan yang menghalalkan segala cara. Dalam suatu obrolan tentang seorang teman yang berlaku tidak baik, ada yang berkata,”Tapi sebetulnya kan dia orang baik”. Spontan seorang teman yang hadir berkata, "Baik apanya. Dia nyuruh orang untuk mengirim surat kaleng tentang saya ke mana-mana….” Di situ terasa sedih, hati yang hangat terasa ‘nyeees’ seperti tersiram air dingin. Dalam hati terasa ada yang ‘hilang’ karena orang yang ‘baik’ itu ternyata tidak baik….. Dalam bahasa anak muda disebut ilfeel (bukan illfeel, il dari kata ‘ilang’ dan feel dari 'feeling' - perasaan).

Syarat dan ketentuan

Kebijakan privasi